Ruang Mama Online 01: Mengenal Gaya Pengasuhan Dalam Keluarga


Ruang Mama Online 01
Selasa, 18 September 2018 
Jam 19.30-20.30 WIB


PROFIL NARASUMBER

Nama: Fina Febriani

Suami: Adam Rachmat
Anak: Umar Kazhim Rachmat & Hanin Hanania Rachmat

Pendidikan:
- S1 Psikologi UI
- S2 Magister Profesi Psikologi Pendidikan UI

Aktivitas saat ini:
- Ibu Rumah Tangga
- Psikolog Lepas
- Konselor Aplikasi Konseling Online 'Sahabatku'
- Pengurus Yayasan Sosial Pendidikan Mitra Sejahtera Utama

MATERI

Mengenal Gaya Pengasuhan Dalam Keluarga
Oleh: Fina Febriani, M. Psi, Psikolog

Sekitar 50 tahun lalu, tepatnya tahun 1967, seorang psikolog perkembangan bernama Diana Baumrind memperhatikan sekelompok anak usia pra sekolah dan menemukan 3 pola perilaku yang berbeda di antara mereka.

Terpicu untuk mengetahui penyebabnya, Baumrind kemudian melakukan penelitian lebih dalam terhadap 103 anak usia pra sekolah. Ia melakukan observasi, wawancara, dan kunjungan rumah terhadap anak-anak tersebut. Hasilnya, ia menemukan adanya hubungan yang kuat antara perilaku yang ditunjukkan oleh anak dan strategi yang dilakukan orang tua dalam mengasuh mereka, yang kemudian dikenal dengan istilah gaya pengasuhan (parenting style).

Penelitian tersebut pun berujung pada identifikasi 3 tipe gaya pengasuhan, yakni (1) Authoritarian Parenting, (2) Indulgent/Permissive Parenting, dan (3) Authoritative Parenting.
Enam belas tahun kemudian, tahun 1983, Maccoby dan Martin menambahkan tipe yang ke (4), yakni Neglectful/Uninvolved Parenting.

Apa perbedaan di antara keempat tipe tersebut?

Sebelum membahas masing-masing tipe, perlu kita ketahui dulu bahwa kategorisasi gaya pengasuhan ini dibuat dengan melihat dua dimensi, yakni:
1. Demandingness/Control : merujuk pada tuntutan atau kontrol orang tua terhadap perilaku anak.
2. Responsiveness/Warmth : merujuk pada sejauh mana orang tua menerima dan sensitif terhadap kebutuhan emosional dan perkembangan anak.
Sekarang, mari kita lihat deskripsinya satu persatu.

1. Authoritarian Parenting : High Demandingness, Low Responsiveness
Gaya pengasuhan ini menekankan pada kontrol yang kuat dari orang tua dan aturan yang cenderung tidak bisa diganggu gugat. Orang tua dengan gaya ini akan mengeluarkan aturan satu arah, tidak memberi ruang diskusi atau bertanya, dan memberi hukuman yang keras untuk setiap pelanggaran terhadap aturan tersebut. Mereka memiliki tuntutan yang tinggi terhadap anak, namun tidak sensitif terhadap kebutuhan emosional anak.

2. Indulgent/Permissive Parenting : Low Demandingness, High Responsiveness
Gaya pengasuhan ini hanya memberlakukan sedikit aturan dan memilih untuk memberi kebebasan yang luas kepada anak untuk melakukan apa pun yang mereka inginkan. Orang tua dengan gaya ini mengasuh dengan kasih sayang, serta memelihara kedekatan dan kehangatan dengan anak-anak mereka. Hanya saja, seringkali mereka tidak berani berkata ‘tidak’ atau menolak permintaan anak karena takut membuat anak kecewa. Mereka juga memiliki ekspektasi yang rendah dan cenderung tidak memiliki tuntutan terhadap anak-anak mereka.

3. Authoritative Parenting : High Demandingness,  High Responsiveness
Gaya pengasuhan ini menekankan pada perkembangan individualitas anak, tapi juga memperhatikan batasan sosial. Mereka hangat dan penuh kasih sayang, namun tetap menuntut anak untuk menampilkan perilaku yang positif. Mereka memberi batasan yang jelas dan bersedia memberlakukan hukuman yang bijaksana ketika diperlukan, dengan tetap memberikan bimbingan dan dukungan. Mereka menerapkan disiplin disertai dengan alasan dan senantiasa memberi ruang bagi anak untuk berdiskusi.

4. Neglectful/Uninvolved Parenting : Low Demandingness, Low Responsiveness
Gaya pengasuhan ini tidak menetapkan batasan maupun tuntutan yang tinggi. Orang tua dengan gaya pengasuhan ini bahkan cenderung acuh tak acuh terhadap kebutuhan anak dan enggan terlibat dalam proses perkembangan anak. Umumnya, orang tua yang menerapkan gaya pengasuhan ini memiliki masalah terkait kesehatan mental, seperti depresi pasca melahirkan, pernah mengalami kekerasan fisik, atau diabaikan pula oleh orang tua mereka ketika kecil.


Dari keempat gaya pengasuhan tersebut, mana yang paling cocok diterapkan untuk mengoptimalkan potensi dan proses tumbuh kembang anak yang positif?
Untuk menjawab itu, yuk kita lihat dulu gambaran output perilaku anak dari masing-masing gaya pengasuhan.



1. Authoritarian Parenting :
~ Cenderung tidak bahagia

~ Pendiam dan enggan berinteraksi dengan orang lain (kurang memiliki keterampilan sosial)
~ Ragu-ragu dalam bertindak
~ Kurang mandiri
~ Memiliki harga diri yang rendah
~ Menunjukkan performa yang buruk dalam hal akademik
~ Lebih rentan mengalami masalah mental dan adiksi

2. Indulgent/Permissive Parenting :
~ Tidak bisa mengikuti aturan
~ Impulsif
~ Memiliki kontrol diri yang buruk
~ Cenderung egosentris
~ Rentan mengalami masalah dalam interaksi sosial


3. Authoritative Parenting :
~ Merasa bahagia dan puas
~ Lebih mandiri
~ Memiliki prestasi akademik yang baik
~ Mengembangkan harga diri yang baik
~ Lebih terampil dalam bersosialisasi
~ Lebih sehat secara mental
~ Kecenderungan untuk melakukan kekerasan atau perilaku menyimpang rendah

4. Neglectful/Uninvolved Parenting :
~ Impulsif
~ Tidak mampu meregulasi emosi
~ Rentan mengalami masalah pelanggaran sosial dan adiksi
~ Rentan mengalami masalah mental, seperti depresi, ingin bunuh diri, dll.

Nah, dari gambaran ini, terlihat ya, Bunda, mana yang output perilaku anaknya paling baik?
Yap, para psikolog, termasuk Baumrind sebagai orang yang menginisiasi penelitian di bidang ini, sangat merekomendasikan agar para orang tua menerapkan gaya pengasuhan authoritative.

Gaya pengasuhan ini menyeimbangkan antara tuntutan dan kasih sayang. Tuntutan penting dan dibutuhkan agar anak bisa mengeluarkan seluruh potensinya untuk tumbuh menjadi anak yang berprestasi dan mandiri. Kasih sayang dan atmosfer keluarga yang positif juga penting dan dibutuhkan untuk membuat anak merasa bahagia, yang pada gilirannya, akan mendorong mereka untuk berperilaku positif pula.

Sebagai penutup materi, izinkan saya mengutip kalimat ini:

"You can't teach children to behave better by making them feel worse. When children feel better, they behave better." (Pam Leo)

Referensi:
Papalia, D.E., & Feldman, R.D. (2012). _Experience Human Development 12th Ed_. New York: McGraw Hill
Santrock, J.W. (2009). _Educational Psychology_. New York: McGraw Hill
https://www.google.co.id/amp/s/www.parentingforbrain.com/4-baumrind-parenting-styles/amp

TANYA JAWAB (Q&A)

Sesi 1 (sebelum kulwap)

1. HELENA

Q : Belakangan ini anak saya subhanallah ngetes kesabaran. Jadi gampang nangis kalau ga dituruti. Dia suka pura-pura jadi bayi padahal udah 3 th. Ga tau ya, apa dia merasa bayi mendapat lebih banyak perhatian dan dimanja jadi dia ingin seperti itu.
Kalau usia 3 th kan kami arahkan dia untuk lebih mandiri mengurus diri maupun dalam bergaul dg teman-temannya. Bagaimana mengatasi hal ini terutama untuk menerapkan disiplin (follow the child, within limits)?

A : Dear, Mbak Helena. Ketemu lagi ya kita di sini... :D
Anak usia 3 tahun umumnya sedang dalam fase membangun otonomi dan kemandirian. Mereka sedang semangat-semangatnya memperjuangkan apa yang mereka inginkan dan seringkali ingin mengerjakan sesuatu dengan caranya sendiri. Jika dia banyak mengatakan 'tidak' atau berargumentasi untuk mengelak dari instruksi kita, itu sesuatu yang wajar. Pun bila dia tantrum karena keinginannya tidak terpenuhi, masih tergolong wajar.


Namun, bila anak yang sebelumnya sudah mandiri justru berubah menjadi manja dan minta dibantu orang tua untuk hal yang sudah bisa mereka lakukan sendiri, coba cek kemungkinan ini:

1. Dia sedang menghadapi lingkungan baru atau beradaptasi dengan orang baru. Jika ya, maka kemungkinan dia melakukan itu untuk memperoleh dukungan dan rasa aman, misalnya dengan minta ditemani ketika bermain dengan teman baru. Untuk mengatasinya, sebaiknya memang ditemani dulu sampai dia merasa nyaman.
2. Ada yang berubah dari pola aktivitas kita, misalnya kita sedang sibuk dengan pekerjaan lain sehingga perhatian pada anak berkurang dari biasanya. Jika ya, maka kemungkinan anak melakukan itu untuk menarik perhatian kita. Bisa jadi dia sedang merasa kehilangan dan untuk menarik kembali perhatian kita, dia meminta bantuan untuk hal yang sebenarnya sudah bisa dia lakukan sendiri.


Untuk mengatasi ini, sebaiknya tinggalkan dulu sejenak pekerjaan kita, dan fokus beri perhatian padanya. Yakinkan dia bahwa kita tetap sayang padanya seperti biasa, bila perlu disertai permintaan maaf. Setelah dia terlihat nyaman dan yakin bahwa kita tidak mengabaikannya, biasanya dia akan kembali mandiri seperti biasa.


Ada kalanya kita juga perlu mengalah sementara dengan memenuhi permintaan mereka, sambil nanti pelan-pelan kita bimbing lagi untuk lebih mandiri.

Contoh:
Sejak punya adik, anak pertama saya (2,5 tahun) jadi sering minta digendong setiap habis dari kamar mandi, padahal sebelumnya biasa jalan sendiri. Saya mencoba memahami, mungkin dia melakukan itu karena sering melihat saya menggendong adiknya dan ingin diperlakukan sama.

Jika dia minta gendong, saya biasanya akan bilang, "Apaaah? Sudah besar minta gendooong?" sambil berekspresi pura pura kaget, macam emote ini 😱. Biasanya dia akan ketawa, karena dia pun sebenarnya sadar bahwa dia sudah besar dan bisa jalan sendiri. Tapi kali itu saya akan tetap gendong dia. Lalu, sambil gendong, saya akan bilang dengan nada santai, "Kalau anak yang sudah besar, kan bisa jalan sendiri ya, Bang. Besok kalau habis mandi, jalan sendiri yaa."

Besoknya, kalau masih minta gendong, saya akan bilang, "Daripada gendong, mending kita main kejar-kejaran yuk. Bunda lari, trus abang kejar Bunda ya. Satu, dua, kabuuuur..."
Besoknya lagi, saya ajak dia berjalan gaya kelinci, atau gaya-gaya lainnya, yang intinya, secara perlahan saya ajak dia untuk mencapai kemandiriannya lagi, yakni berjalan sendiri dari kamar mandi.


Butuh tenaga dan waktu ekstra memang. Tapi sejauh pengalaman saya, cara yang menyenangkan cenderung lebih efektif dibandingkan ancaman atau ekspresi kemarahan. Betul jika dikatakan children
behave better when they feel better.

2. DITA

Q : (1) Bagaimana pola pengasuhan untuk kakak adik yang sifat keduanya bertolak belakang?

(2) Hukuman seperti apa yang pantas diterapkan untuk balita jika tidak mengikuti tuntutan dari orangtua? Misalnya, anak tidak mau membuang sampah di tempatnya, tidak mau gosok gigi atau bermain ludah padahal sudah diberitahu untuk tidak melakukannya.

(3) Bagaimana cara menyikapi rasa kecewa di diri orangtua jika tuntutan kita terhadap anak tidak dilakukannya? Rasa kecewa itu wajarkah?

A : Salam kenal, Mbak Dita. Terimakasih atas pertanyaannya ya. :)
(1) Pola atau gaya pengasuhan secara umum tidak terlalu dipengaruhi sifat atau karakter anak, Mbak. Mbak tetap bisa menerapkan authoritative parenting untuk beragam karakter anak, dengan memegang prinsip utamanya, yakni high demandingness dan high responsiveness.


Yang membedakan nantinya adalah cara pendekatan ke masing-masing anak. Ada yang diberi instruksi dan penjelasan satu kali, bisa langsung mengerjakan. Ada yang lebih kritis dan merasa perlu tanya-tanya dulu sampai betul-betul paham, baru mau bergerak. Tidak masalah. Kita beri ruang diskusi sesuai kebutuhan masing-masing.


Pun dalam membangun kehangatan, kebutuhan anak berbeda. Ada yang bisa mengekspresikan perasaannya secara terbuka di hadapan anggota keluarga lain, sehingga kita bisa langsung meresponsnya. Ada yang baru merasa nyaman untuk curhat jika hanya sedang berdua dengan ayah atau ibunya, sehingga kita perlu meluangkan waktu khusus untuk menggali dan merespons kebutuhan emosionalnya.


Tugas orang tua adalah mengenali kebutuhan masing-masing anak, kemudian menyesuaikan diri dengan kebutuhan itu. :)

(2) Untuk anak usia 0-7 tahun, sebenarnya pendekatan hukuman tidak disarankan, Mbak. Karena ini masih tahap awal kehidupan dan anak masih belajar mengenal dunianya.


Menurut pakar pendidikan, Rudolf Steinberg, di fase ini, anak perlu diperkenalkan bahwa the world is good. Mengenalkan sesuatu di fase ini, termasuk membangun kedisiplinan, perlu dilakukan dengan cara menyenangkan, misalnya dengan keteladanan, kisah-kisah tentang kebaikan, atau melalui permainan, sehingga anak senang dengan kebaikan dan keteraturan.


Jika anak enggan disuruh gosok gigi, coba ajak dia gosok gigi bersama kita sambil main air. Jika ingin anak buang sampah di tempatnya, jadilah teladan. Atau jika ingin memberi instruksi lisan, lakukan dengan ramah dan manis. Hal ini juga berlaku jika kita ingin anak tidak melakukan sesuatu.


Saya sudah buktikan, Mbak, menegur anak dengan galak untuk tidak meludah itu tidak mempan, meskipun berkali-kali. Dia malah makin menjadi-jadi, kalau tidak di depan kita, ya di belakang kita. 🙈
Akhirnya, saya berhenti melakukan itu. Sekarang, kalau anak saya mulai meludah, saya raih dan pangku dia, lalu saya alihkan obrolan. Nanti saat ada momen santai, biasanya saat pillow talk, saya sampaikan agar dia tidak melakukannya lagi.


Saya tidak bilang bahwa cara manis bisa langsung berhasil ya, tetap saja penjelasan harus dilakukan berkali-kali. 🤣
Ini wajar, karena sel otak mereka belum bersambungan. Kita pun kalau mempelajari hal baru juga butuh pengulangan agar materi bisa masuk ke long term memory kan? ☺


Dan karena sama-sama butuh penjelasan berkali-kali, akhirnya saya lebih memilih cara manis, karena selain berpotensi membuat trauma, bergalak-galak ria itu melelahkan dan bikin stres. 🤣
Meski begitu, jika dirasa perlu menerapkan sistem konsekuensi, boleh saja, yang penting pastikan bahwa konsekuensi disepakati lebih dulu sehingga saat diberlakukan, anak lebih mudah menerimanya. Saya rasa itu, Mbak. :)

(3) Rasa kecewa itu wajar, Mbak. Tapi kita juga tidak boleh membiarkannya berlarut-larut, karena bisa sangat mempengaruhi sikap kita terhadap anak, misalnya kita jadi bete, jutek, dan enggan mengurusi mereka karena merasa percuma. Padahal anak, terutama balita, melakukan itu karena belum mengerti.
Untuk menetralkan perasaan kecewa, kita bisa melakukan reframing, mengubah pikiran positif jadi negatif. 


Misalnya ketika anak tidak menurut, jangan berpikir dia sedang ingin membuat kita marah, tapi coba pahami bahwa mungkin ia belum paham instruksi kita sehingga kita perlu cari strategi lain.
Sesekali, perlu juga kita evaluasi lagi, apakah tuntutan kita terlalu tinggi, tidak sesuai dengan tahap perkembangannya atau fitrah bakatnya, sehingga sulit bagi anak untuk mencapainya. Jika itu yang terjadi, ada baiknya kita set ulang tuntutan kita.

3. NANDA

Q : Anak ku 2 th tapi ringan tangan banget mba.. kalo apa yg ga dia suka dy otomatis reflek mukul. lempar. nabok apa itu ada pengaruhnya dr gaya parenting saya ya? saya sih curiga dy kebawa kakaknya (4th) kalo ke adik nya saya ga pernah marah, ga pernah galak dll tp klo sm kakak nya agak sih hehee... trs gimana dong mba cara ngilangin kebiasaan mukul,lempar.. makasih yaaa

A : Salam kenal, Mbak Nanda. Terimakasih atas pertanyaannya. 😊
Cara mengekpresikan emosi memang sangat mungkin ditiru anak dari lingkungannya, Mbak. Entahkah dari orang-orang sekitarnya atau televisi.
Ada beberapa cara untuk menghentikannya, yakni:


Pertama, jika kita sebagai orang tua pernah melakukan itu, maka kali ini pastikan kita tidak melakukannya lagi. Jika belum bisa, berarti kita yang perlu belajar lebih dulu. Mbak bisa pelajari teknik relaksasi dan cara mengkomunikasikan perasaan. Jika kita sudah bisa mengekspresikan emosi kita dengan cara yang positif, insyaAllah akan lebih mudah mengajarkan ke anak-anak.


Kedua, jika itu dari tayangan televisi, hindarkan anak-anak dari tayangan itu. Atau jika terlanjur melihat, katakan pada mereka bahwa itu tidak baik untuk dilakukan.


Ketiga, latih anak untuk mengkomunikasikan perasaannya secara lisan dengan jelas. Kenalkan jenis-jenis emosi sehingga anak bisa menyampaikan apa yang dirasakannya dengan tepat. Sampaikan pada mereka bahwa orang lain tidak akan mengerti keinginan mereka jika mereka tidak bicara, dan hanya memukul atau melempar. Jika orang tua sudah menguasai teknik relaksasi, bisa ajarkan juga teknik ini pada anak.


Dan yang terpenting, perlu ditekankan pada anak bahwa yang salah bukanlah emosinya, melainkan cara mengekspresikan emosinya. Emosi adalah sesuatu yang wajar dirasakan, namun mereka perlu belajar menyalurkan emosi tersebut dengan cara yang tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain.
Semoga dimudahkan ya, Mbak. :)

Sesi 2 (saat kulwap berlangsung)
Narasumber (N), Penanya (P) 

4. AGUSTINA

Q : Anak saya umur 9 thn. Sampai saat ini anak Saya kalo sama ayahnya sering berkomunikasi dg nada tinggi, pdhl suami Saya terhadap anak tdk pernah spt itu. Biasanya gaya.bicara ini terjadi kalo Ada Saya di antara mereka. Sdgkan kalo Saya sdg pergi, anak Saya cenderung normal . Itu kenapa ya? Misalnya: Ayah Sana jangan dekat2. Aku gak suka sama Ayah. Tapi kalo mereka lagi berduaan Aja malah gak gitu, wajar aja main bareng, kadang main catur, monopoli, senam bareng. Anak Saya cuma satu. Kami tinggal bersama mertua laki2 saja.


A : N :  Apa Mbak Agustina bekerja, Mbak? Sehari-hari anak lebih sering dengan Mbak atau suami?

P : Lebih sering dg Saya. Saya kerja part time , Paling seminggu hanya keluar rumah maksimal 3 Kali utk kerjaan, juga aktif di komite sekolah selama jam sekolah. Suami Saya kerja full time ke kantor 3 Hari seminggu, 2 Hari kerja dari rumah.

N : Apakah pernah ditanyakan ke anak kenapa dia berkata begitu?


P : Krn aku lebih sayang mama. Ayah nakal. Spt nya krn suami Saya suka menggoda dia. Bercanda.


N : Menurut Mbak Agustina, apakah anak terlihat betul betul kesal saat bicara (dalam artian dia betul betul tidak suka digoda oleh ayahnya), atau dia berkata begitu juga hanya bercanda, sekadar ingin mengadu ke ibunya, tanpa ada perasaan benci kepada ayah?


P : Mnrt saya sering benar2 kesal.
Kadang suka Saya ledek "taktik yaaaa" maksudnya taktik biar diperhatikan. Kadang dia terus ketawa, tapi sering juga tetap cemberut.


N : Menurut saya, ada beberapa hal yang perlu dilakukan:
- Cermati betul apa yang biasa dilakukan anak bersama ayah, seberapa sering ayah menggodanya dan bagaimana ekspresinya saat digoda. Bila ada konten yang berbeda, perhatikan mana konten yang membuat dia tertawa, mana yang membuat dia tidak suka.
- Cermati juga sekeliling, apakah ada anggota keluarga yang sering konflik dengan ayahnya dan bersikap kasar pada ayahnya sehingga memungkinkan anak meniru orang tersebut.
- Evaluasi apakah Mbak atau anggota keluarga lain pernah mengeluhkan sikap atau perilaku ayahnya di depan anak. Karena image seorang ayah di mata anaknya juga dipengaruhi oleh bagaimana ibu dan anggota keluarga lain memandang ayahnya. Bisa jadi ayahnya bersikap baik pada anak, tapi karena ia sering mendengar keluhan tentang ayahnya dari orang lain, ia jadi kehilangan respek pada ayahnya.
- Terakhir, coba lakukan wawancara mendalam dengan anak. Berdua saja. Gali semua yang dia rasakan, tentu saja dengan memperhatikan kondisinya, bila ia berat untuk cerita, jangan dipaksa dan coba lagi lain waktu.
Saya kira untuk saat ini, saya baru bisa menyarankan itu, Mbak.🙏🏻


N : Sama-sama, Mbak.
Sebenarnya, kecenderungan anak untuk lebih dekat dengan ibu dibanding ayah itu wajar. Anak saya pun begitu. Jika sedang dengan ayah, bisa kompak. Jika sedang ada ayah dan ibu, prefer ibu dan menolak dengan ayah.
Tapi kita tetap waspada dengan kemungkinan lain ya. 🙏🏻 Semoga dimudahkan dan semuanya baik-baik saja ya, Mbak.  :)


P : Terima kasih banyak sarannya, Mba Fina. Kayaknya perlu Saya buat catatan khusus utk poin2 observasi di atas ya. Dari hasil.observasi tsb maka Saya hrs diskusikan dg suami yaaa. Spy sejalan nanti solusinya. Makasih pencerahannya 😘😘

5. MIRANTI

Q : Aslm mba Fina, selama menjadi psikolog dan konselor, boleh tolong dishare satu kasus yg paling diingat, dirasa cukup berat atau unik yg pernah mba Fina tangani dan bagaimana cara menanganinya?
Penasaran dengan curhatan mama2 zaman now yg katanya overwhelming dengan parenting theory yg tak berujung pada realisasi.

A : Kalau kasus terberat dan paling diingat, saya pernah ketemu klien siswi SMP. Kemampuan akademik di bawah rata-rata, kemampuan sosialisasi juga buruk. Anaknya sering berbohong untuk mencari perhatian, dan teman-temannya tahu dia bohong, lalu dia dibully, dipaksa untuk traktir teman-teman, dan dia melakukannya agar diterima dalam pertemanan. Ironisnya, dia sendiri berkekurangan, sehingga untuk mentraktir teman, dia memaksakan minta ke orang tuanya. Ia juga sering dipukuli oleh ibunya. Rupanya ibunya adalah istri kedua, dan ayahnya jarang pulang, sehingga agak stres dan melampiaskan ke anaknya.


Saya dan dosen saya ketika itu bingung harus membantu anak ini dari mana, apakah dari akademiknya, emosionalnya, atau kemampuan sosialisasinya.
Setelah ditelusuri, kami menyimpulkan akar masalahnya ada di ibunya. Ibunya pun kami konseling dan kami bermaksud memberi saran untuk memperbaiki pola asuhnya, menghentikan perilaku kasarnya pada anak agar self-esteem anak bisa diperbaiki, untuk kemudian membantu proses sosialisasinya, dan jika proses sosialisasinya baik, kemampuan akademiknya bisa coba didongkrak juga.


Tapi sayang, sejak pertemuan pertama saja ibunya tidak bersedia terbuka, dia hanya mendengarkan laporan kami tentang anaknya, dengan gesture ini cepat-cepat pulang.
Akhirnya saya dan dosen saya pasrah. Sebab bagaimanapun, psikolog hanya bisa membantu mengurai masalah 

dan memberi saran, keinginan untuk berubah tetap harus lahir dari klien.

Demikian, Mbak. Semoga menjawab.🙏

P : Astaghfirullah, kompleks sekali 😢 kalau sudah begitu, berarti sisi emosional dulu yg perlu diperbaiki baru kemudian yg lainnya ya mba?


N : Sebaiknya begitu, Mbak. Karena kembali ke prinsip, when children feel better, they behave better. Tapi karena dia dapat perlakuan kasar dari ibunya, ya ibunya yang harus dibenerin dulu.


Tapi ibunya pun punya masalah kompleks juga yang membuat dia jadi kasar. Jika dia terbuka, mungkin kami akan membuka pintu juga untuk menyelesaikan masalah emosionalnya. Sayangnya dia keberatan cerita lebih banyak.

P : MasyaAllah, well noted. Terima kasih banyak sharing mba Fina 🤗 sungguh ku senang semua jawabannya.

N : Sama-sama Mbak Miranti. Semoga bermanfaat  🙏


6. NAILA

Q : Assalamu'alaikum mbak Harty/mbak Fina. Salam kenal,saya Naila. Single parent yg mempunyai anak laki2 5 th(TKA). Saat ini anak saya dgn salah satu teman laki2nya di sekolah sering sekali berantem kalau mereka bertemu. Anak saya ini sering iseng dan cenderung mengikuti temannya. si Temannya ini jg anaknya iseng,sering ganggu teman2nya yg lain dengan cara menggigit temannya atau merusak barang, suka memukul jg sehingga anak saya dan si temannya ini  agak dijauhi  teman2nya yg lain,krn bermainnya nggak aman. Anak saya ngadu ke saya,dia bilang dia diisengin temannya ini, sering pukul2 dia. 

Awalnya saya mengajarkan anak saya, kalau dipukul temanmu, kamu ngomong ke gurumu aja,tp krn sering bgt anak saya dipukul,akhirnya saya bilang utk pukul balik temannya itu (dgn maksud mengajarkan anak saya utk bela diri/berani). Akhirnya mereka berdua tiap kali bertemu selalu berantem,dipisah gurunnya berentem lagi,begitu seterusnya. Saya jg bilang ke anak saya spy jangan main atau dekat2  dgn temannya itu, tp tetap saja mereka berdua gabung berantem lg,akhirnya kemarin terjadi insiden digigitnya pipi anak saya oleh temannya itu kemarin.

Pertanyaannya apakah (1) wajar anak laki2 usia 5 th itu main berantem2,iseng ke temannya?
(2) apakah yg saya ajarkan utk balas pukul bila dipukul itu benar? dgn maksud bela diri?

A : Dear, Mbak Naila. Saya coba jawab pertanyaannya ya, Mbak.
(1) Anak laki-laki memang punya kecenderungan untuk lebih banyak menggunakan fisik saat bermain, atau yang dikenal dengan istilah rough-and-tumble play, yang ditandai dengan aktivitas meninju, menendang, bergulat, guling-gulingan, kejar-kejaran, dan biasanya disertai teriakan dan canda tawa. Dalam batasan tertentu, rough-and-tumble play bermanfaat untuk perkembangan motorik anak.

Tapi rough-and-tumble play ini tidak sama dengan berkelahi. Pada jenis permainan ini, anak-anak melakukan gerakan-gerakan itu dalam konteks bermain dan bercanda, bukan saling menyerang dengan perasaan benci. Setelah bermain, mereka akan tertawa bersama dan tetap berteman.


Jika anak sudah saling menyerang hingga ada yang tersakiti dan menimbulkan rasa benci, itu sudah tidak bisa dikatakan wajar. Apalagi sampai menimbulkan ketakutan atau ketidaknyamanan ketika bertemu kembali. Saya rasa ini yang sedang anak Mbak Naila alami. Selain dia sampai terluka, dia juga mengaku tidak nyaman bila bertemu temannya itu.


(2) Membalas perlakuan kasar dari teman sebenarnya tidak terlalu dianjurkan, bahkan dalam konteks bullying sekalipun. Karena, tindakan membalas biasanya tidak menyelesaikan masalah, dan justru akan memicu balas-balasan yang tidak berujung.
Tapi, bila situasinya sudah mendesak, misalnya anak diserang dan tidak ada orang dewasa yang bisa melerai, dan bila tidak melawan anak berpotensi terluka parah, maka membalas boleh saja dilakukan, meskipun orang dewasa nantinya perlu turun tangan agar tindakan balas-balasan tidak berlanjut.


Untuk masalah anak Mbak Naila ini, apakah memungkinkan jika dibuat opsi pindah sekolah?
Jika mencermati cerita Mbak Naila, tergambar bahwa anak sudah merasa tidak nyaman dengan kehadiran temannya, hubungan dia dengan temannya pun sudah meruncing, dan sayangnya, pihak sekolah juga tidak memfasilitasi untuk pindah kelas atau membantu rekonsiliasi antar anak, malah cenderung ikut menyalahkan dan melabel anak (sebagai pengganggu).


Labeling ini bahaya sekali, Mbak. Semakin anak dilabel sebagai penggangu, semakin besar potensinya untuk benar-benar menjadi pengganggu nantinya, padahal mungkin sebenarnya sifat isengnya selama ini masih bisa diperbaiki dan diarahkan agar menjadi lebih baik.


Jika memungkinkan anak pindah sekolah, mungkin dia bisa memulai dunia baru yang lebih positif. Dia akan bertemu guru baru dan teman-teman baru yang belum menganggapnya sebagai pengganggu sehingga dia punya peluang untuk membangun self image yang positif. Terlebih dia baru berusia 5 tahun, masih sangat mungkin berubah menjadi lebih baik.


Tentu saja Mbak Naila juga tetap perlu mengarahkan dia untuk mengontrol perilaku isengnya dan membantunya mempelajari cara bersosialisasi yang baik.
Ini hanya saran saya, Mbak. Tentu saja Mbak Naila lebih tahu persis kondisi dan kemungkinannya. 🙏🏻😊


Bila Mbak merasa perlu bertemu psikolog untuk menggali lebih dalam kondisi psikologis anak sekarang (terutama potensi dia menaruh dendam pada temannya), sangat boleh. Mbak tinggal dimanakah? Mungkin nanti saya bisa rekomendasikan psikolog yang dekat dari daerah tempat tinggal Mbak Naila.
Demikian, Mbak. Semoga cukup membantu. 🙏🏻


P : Terima kasih byk utk Jawabannya mbak Fina/mbak Harty 🙏🙏. Saya jg berpikir utk alternatif pindah sekolah mbak, bila nanti saat pertemuan lg dgn pihak sekolah antara saya dan ortu teman penggigit tdk terdapat kesepakatan.


Karena saya sedang mengusahakan, apakah msh ada itikad baik dr pihak sklh,ortu penggigit maupun saya sendiri atau bagaimana..saya ingin tahu solusi mreka spt apa nanti ke depannya. Saya jg bertanya ke anak saya sendiri,apakah kamu suka bersekolah di tmpt dia skrg ini?,dia jawab dia suka,dia suka lingkungan sklhnya,guru2nya jg. Saya bilang, kalau msh suka disklh tsb,kmu dan teman kmu itu hrs bisa berdamai, saling memaafkan,kalau sdh saling memaafkan tdk perlu lg utk saling balas membalas. teman2 yg lain jg akan terganggu dgn kehadiran kalian berdua krn tdk bisa bermain aman. kalau kalian bisa main aman kalian bisa diterima oleh semua org dimanapun kalian berada. Mau pindah sekolah dmnpun kalau kmu dan temanmu itu tdk bisa berubah sikap nggak akan ada yg mau terima. Apa mau kmu nggak sekolah?
Spt itu mbak,saya bilang ke anak saya. Apakah kata2 saya salah?? Td saya sempat orientasi sklh lain, utk alternatif jalan keluar dr mslh ini tp anak saya nggak suka sekolah yg td saya pilih, dia tetap pilih sklhnya yg skrg.


N : Sip, Mbak Naila. 👍🏻
Jika ternyata masih ada kesempatan diskusi dengan sekolah dan orang tua teman itu, saya sangat mendukung bila Mbak masih mau memperjuangkan damai. Jelas berdamai akan jauh lebih baik. :)
Dan insyaAllah penjelasan Mbak pada anak sudah sangat oke. Anak juga perlu tahu bahwa perilaku mereka akan punya konsekuensi terhadap diri sendiri maupun orang lain, sehingga jika ingin diperlakukan baik, mereka juga perlu belajar bersikap baik. :)
Semoga dimudahkan ya, Mbak. 🙏


P : Apakah ada rekomendasi teman psikolog mbak Fina di daerah bintaro atau saya bisa bertemu langsung dgn mbak Fina? utk bisa diskusi lgsg. Terima kasih sebelumnya 🙏


N : Mohon maaf untuk saat ini saya belum bisa konsul tatap muka, Mbak, karena bayi saya belum bisa dititip. Selain itu saya juga tinggal agak jauh dari Bintaro, di Jakarta Timur.🙏🏻
Saya ada rekomendasi psikolog di Bintaro, namanya Mbak Amanda. Saya sudah hubungi beliau, dan insyaAllah beliau sudah bersedia untuk bantu konseling. Mbak Naila bisa hubungi Mbak Manda di nomor ini berikut untuk atur waktu ketemuan. 🙏🏻


P: Baik Terima kasih byk mbak Harty dan mbak Fina 😊🙏🙏. Semoga Allah membalas dgn segala kebaikan dan barokah berkali2 lipat kpd mbak sekeluarga..Aamiin🙏🙏🙏

_________________________________________________
Kulwap dipandu dan dirangkum oleh Kak Harty. 

Terima kasih :)


-SELESAI-

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Pages